“Sang Manusia”

Salah satu berkat besar yang terjadi ketika tim bekerja merevisi PB TSI adalah ketika menemukan arti dari gelar “Anak Manusia”. Selama ini makna dari gelar Yesus itu masih kabur. Namun ketika tim memeriksa sampai ke PL, ditemukanlah bahwa istilah ini bisa dihubungkan kepada nubuatan yang diungkapkan dalam Kej. 3:15.

Selama Yesus tinggal di dunia, Dia menyebut diri-Nya dengan suatu gelar yang selama ini kita kenal sebagai ‘Anak Manusia’. Namun, apa arti Anak Manusia? Siapa manusia itu yang punya anak bernama Yesus? Mengapa Yesus mengaitkan sebutan Anak Manusia dengan wewenang/kuasa untuk menghakimi (Yoh. 5:27)? 

Semua pertanyaan di atas mengantar kita pada satu kesimpulan bahwa tentulah ada makna khusus di balik gelar tersebut— makna yang diketahui orang-orang zaman Yesus, tetapi masih asing bagi kita. Ada jurang waktu, budaya, dan bahasa, yang menyulitkan kita menangkap sepenuhnya arti Anak Manusia. Untuk menjembatani jurang tersebut, TSI menerjemahkan gelar Yesus sebagai ‘Sang Manusia’ dengan beberapa alasan yang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yakni pertimbangan linguistik/bahasa dan pertimbangan teologis. Kita akan membedahnya satu per satu.

 

  1. Faktor Linguistik atau Bahasa

Sebutan Anak Manusia rupanya merupakan terjemahan langsung (harfiah) dari bahasa Yunani ‘huios anthropos’ (huios = anak; anthropos = manusia). Frasa ‘anak X’ adalah bentuk gaya bahasa Yunani yang memiliki makna khusus. Dalam bahasa Indonesia, kasus ini sama seperti kata majemuk, di mana gabungan dua kata bisa menghasilkan makna yang berbeda dari arti dasar kedua kata pembentuknya (misal: sapu tangan, kaki lima, anak emas, dll). Karena itu, diperlukan cara penerjemahan tertentu agar makna idiom Yunani ini tersampaikan sesuai artinya.

Untuk memahami kata majemuk Yunani ‘anak X’, kita akan melihat dua contoh dalam Perjanjian Baru. Pertama, Yohanes 17:12 mengatakan, “Hanya seorang saja dari mereka yang akan binasa, yaitu dia yang sudah ditentukan untuk binasa (harfiah: yaitu si anak kebinasaan). Contoh kedua terdapat dalam 2 Tesalonika 2:3, di mana Paulus menulis, “Mereka memilih untuk taat pada seorang raja dosa yang pada waktu itu mulai bertindak. Dialah yang akan dibinasakan pada hari terakhir (harfiah: Dialah anak kematian).” Dari kedua contoh tersebut, tampak bahwa bentuk kiasan Yunani ‘anak X’ bukan berarti ‘anaknya si X’ atau ‘X mempunyai anak’, melainkan ‘orang itu sendiri adalah X’.

Dengan prinsip tersebut, kini jelas bahwa dalam sebutan Yesus ‘Anak Manusia’, artinya Yesus sendirilah Manusia yang dimaksud, bukan Yesus sebagai anak dari seorang manusia lain.

Faktor linguistik berikutnya adalah penggunaan kata ‘Sang’ untuk menunjukkan suatu gelar, sebagaimana wajarnya gelar dalam bahasa Indonesia. Namun, tak hanya untuk kewajaran dan keluhuran, kata ‘sang’ juga menunjukkan kekhususan, yaitu merujuk pada satu objek tertentu (akan dijelaskan lebih lanjut dalam poin II C — ‘Manusia Istimewa dalam Kitab Daniel’). Jadi, dengan gelar Yesus ‘Sang Manusia’, artinya Dialah ‘Manusia yang itu, yang luhur itu’.

 

Hal ini membawa kita pada pertanyaan selanjutnya: Manusia yang mana, atau Manusia siapakah Yesus? Sekarang kita akan memasuki ranah teologis.

 

  1. Faktor Teologis

  1. Hakikat ‘Manusia’: Jenis Makhluk yang Mencerminkan Allah

Kitab Kejadian memaparkan asal mula kemunculan manusia di dalam sejarah semesta. Allah berkata, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas” bumi dan segala isinya (Kej.1:26 TB). Selanjutnya, “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia” (Kej.1:27 TB). Dalam versi TSI: “Marilah Kita menciptakan manusia supaya menyerupai Kita dan mencerminkan sifat-sifat Kita” (Kej.1:26 TSI). Jadi ‘gambar Allah’ artinya mencerminkan Allah, menggambarkan hakikat Allah, atau memancarkan jati diri Allah (tentunya dalam batas tertentu). 

Banyak pemahaman sering kali mempersempit makna “gambar dan rupa Allah”. Barangkali Anda pernah mendengar pengajaran seperti: “Gambar Allah dalam diri manusia terletak pada rohnya”, atau “Gambar Allah pada manusia adalah akal pikirannya, atau perasaannya”, dan sebagainya. Namun, Kitab Kejadian tidak pernah memisah-misahkan hal tersebut. Menurut dua ayat tadi, “gambar Allah” itu terletak pada seluruh diri manusia seutuhnya, bukan pada pikirannya saja, atau perasaannya, atau rohnya, dll. Dengan kata lain, status/jenis spesies manusia itu sendiri adalah gambar Allah. Menjadi manusia pada hakikatnya adalah menjadi gambar Allah. Dan kekuasaan yang diberikan kepada manusia atas seluruh ciptaan, itu mewakili kekuasaan Allah. Demikianlah Allah ‘memprogram’ makhluk yang bernama manusia: sempurna, mencerminkan diri Allah, menjadi wakil kuasa Allah. Itulah jati diri manusia.

Namun kemudian, sepasang manusia pertama jatuh dalam dosa, sehingga rusaklah mereka berdua beserta seluruh keturunannya, yaitu kita. Berarti, keadaan/status kita sebagai manusia pun telah tercoreng. Kita tidak lagi sempurna mencerminkan diri Allah. Jadi, hakikat kita sebagai manusia (gambar Allah) sudah cacat, tak lagi seperti ‘program’ Allah yang asli.

Lalu datanglah Yesus. Tentang Dia, Alkitab berkata:

  • “Kristus Yesus mencerminkan semua sifat Allah” (Kol.1:15 TSI 2.3), 

  • Anak-Nya itu mencerminkan segala kemuliaan Allah, dan Dia adalah gambar yang nyata dan sesungguhnya dari keberadaan Allah ” (Ibr.1:3 TSI 2.3), 

  • “Anak-Nya itu memancarkan kemuliaan Allah. Dia mencerminkan hakikat Allah secara nyata dan sempurna” (Ibr.1:3 TSI 3.0),

  • Dalam terjemahan harfiah, “Ia adalah … gambar wujud Allah” (Ibr.1:3 TB).

Bila kita perhatikan frasa-frasa yang diketik miring, semuanya adalah definisi manusia menurut kitab Kejadian! 

Itulah alasan teologis pertama yang menjelaskan mengapa Yesus disebut Sang Manusia: karena Yesus manusia yang sempurna, sesuai dengan rancangan Allah semula. Dia manusia yang utuh dengan hakikat yang sebenar-benarnya sebagai ‘gambar Allah’ sejati. Yesuslah yang pantas disebut Manusia menurut definisi dalam Kejadian, karena status-Nya sebagai Gambar Allah tidak cacat/rusak seperti kita.

 

  1. Kejatuhan Manusia dan Injil Pertama

Sesudah manusia pertama (Adam dan Hawa) jatuh dalam dosa, Allah pun mengutuk tanah (bumi), manusia itu sendiri, serta si ular. Dalam kutukan-Nya kepada ular, TUHAN berkata, 

 

“Aku akan membuat kamu dan perempuan ini saling bermusuhan. Keturunanmu dan keturunan perempuan ini akan selalu bermusuhan. Kamu akan menggigit tumit keturunannya yang laki-laki, tetapi dia akan menghancurkan kepalamu” (Kej.3:15 TSI). 

 

Ayat itu merupakan janji pertama tentang keselamatan, atau Injil yang mula-mula, di mana Allah menjanjikan datangnya seorang keturunan (tunggal) manusia yang akan meremukkan si iblis. 

Dalam kebudayaan Yahudi, keturunan seseorang disebut dengan nama ayah, bukan nama ibu. Misalnya Simon ben Yunus, artinya Simon anak Yunus. Jadi, keturunan Hawa yang dijanjikan Allah dalam Kej.3:15 itu bisa disebut ben Adam (anak Adam) menurut nama ayahnya. Menariknya, kata adam dalam bahasa Ibrani juga berarti manusia. Dengan demikian, ben Adam itu bila diterjemahkan secara harfiah juga anak manusia! 

Itulah alasan kedua Yesus memiliki gelar ‘Anak Manusia’, sebab Dia adalah figur penyelamat dari keturunan perempuan yang dijanjikan dalam Injil mula-mula.

 

  1. ‘Manusia’ Istimewa dalam Kitab Daniel

Petunjuk selanjutnya muncul ketika Daniel mendapat penglihatan ilahi, yang dicatatnya dalam Dan. 7:13-14:

 

“Dalam penglihatan di malam itu saya melihat, tampaklah seorang seperti manusia biasa, tetapi dia turun di antara awan-awan dari surga. Dia pun datang kepada Allah Yang Kekal… Dia diberi kekuasaan, kemuliaan, dan sebuah kerajaan di mana setiap suku, bangsa, dan bahasa harus melayani-Nya. Kerajaan-Nya tidak akan pernah berakhir dan kekuasaan-Nya kekal.”

 

Frasa “seperti manusia biasa” secara harfiah dalam bahasa Ibrani adalah ben adam (anak manusia), dalam bahasa Aram yang dipakai Daniel adalah kebar enas (anak manusia), dan sewaktu kitab PL diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani Septuaginta, frasa tersebut lagi-lagi menjadi uios antropos (anak manusia).

Secara kebahasaan, dalam Ibrani dan Aram rupanya frasa ben adam dan kebar enas juga tidak selalu berarti “anaknya si anu”, sama seperti kasus bahasa Yunani yang telah kita singgung di awal. 

Contoh lain dapat kita jumpai dalam kitab Yehezkiel, di mana Allah berulang kali memanggil sang nabi dengan sapaan “ben adam”— Hai anak manusia! Makna yang dimaksud dalam panggilan itu adalah “Hai kamu, manusia biasa”. 

Kitab Ayub dan Mazmur juga memberikan contoh yang sama, “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mzm.8:5 TB); “Lebih-lebih lagi manusia, yang [di mata Allah,] adalah berenga, anak manusia, yang adalah ulat!” (Ayb. 25:6).

Berdasarkan semua terjemahan harfiah di atas, kita mendapati lagi suatu pola idiom “anak manusia” dalam bahasa Ibrani yang artinya “manusia” atau “manusia biasa” saja. Maka, dengan prinsip ‘terjemahan berdasarkan arti’, TSI menerjemahkan kata “anak manusia” di Daniel 7:13 sebagai “manusia biasa.”

Namun, melihat kalimat selanjutnya (bahwa sosok itu turun dari surga, bahwa kekuasaan-Nya kekal, dll.), kita tahu bahwa figur yang kelihatannya seperti manusia itu sebetulnya bukan manusia biasa. Karena tidak mungkin manusia biasa bisa turun dari surga, mendekat kepada Allah yang kudus, dan disembah oleh seluruh dunia. Ahli-ahli kitab Yahudi sejak dulu pun sudah menyadari hal itu. Mereka tahu bahwa sang manusia yang dilihat Daniel adalah sosok ilahi.

Penglihatan Daniel itu membukakan pikiran orang Yahudi bahwa ada figur ilahi yang berwujud seperti manusia biasa. Namun mereka belum tahu persis Siapa itu, sehingga mereka hanya menyebutnya sebagai ‘ben adam’ (manusia itu). Demikianlah sebutan itu menjadi istilah yang dikenal oleh para ahli kitab Yahudi sebagai rujukan kepada sosok ilahi yang disaksikan Daniel.

Mengaitkan tulisan Daniel dengan janji-janji kedatangan Raja Penyelamat (Mesias) dalam PL, muncul pula pemahaman di antara orang Yahudi bahwa ada kemungkinan, Raja Penyelamat yang akan datang bersifat ilahi. Akan tetapi mereka belum dapat menjelaskannya dengan tuntas sebab Allah menyingkapkan wahyu-Nya secara bertahap.

Kemudian Yesus datang dan menyebut diri-Nya sendiri ho huios tou anthrōpou. Ho merupakan kata penunjuk khusus untuk suatu objek tertentu (bukan objek secara umum). Dalam bahasa Indonesia serupa dengan kata penunjuk ‘ini’ atau ‘itu’. Misalnya, saat orang berkata, “Saya suka kucing,” artinya semua kucing secara umum. Lain halnya dengan “Saya suka kucing itu,” yang artinya satu kucing secara khusus yang dia tunjuk. Demikianlah sebutan Yesus ho huious tou anthrōpou berarti “Aku manusia yang itu,” menunjuk secara khusus pada manusia tertentu, jadi bukan sekedar “Aku manusia” sama seperti kita semua adalah jenis manusia. Di sinilah ketepatan pemakaian kata Sang, sebab ‘sang’ juga merupakan kata penunjuk khusus sekaligus mengandung arti ‘yang dimuliakan’.

Perlu diketahui pula bahwa penggunaan kata penunjuk ho dalam frasa ho huios tou anthropou muncul pertama kali dalam perkataan Yesus yang dicatat dalam keempat Injil. Tidak pernah ditemukan kombinasi itu dalam teks-teks kuno sebelum tulisan Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Jadi, sebelum Yesus tidak ada orang lain yang disebut “Manusia yang itu” secara khusus. 

Hampir semua penafsir sepakat bahwa manusia yang dimaksud Yesus dalam gelar-Nya adalah sang figur ilahi berbentuk “manusia biasa” dalam penglihatan Daniel. Dengan demikian, Yesus hendak mengatakan “Akulah sosok yang dilihat Daniel,” sehingga secara tak langsung artinya “Akulah Allah.” Demikianlah makna teologis ketiga di balik gelar Yesus ‘Sang Manusia’.

 

Berdasarkan semua penjelasan di atas, sekarang kita mengerti bahwa ketika Yesus menggunakan gelar ‘Sang Manusia’, Dia sedang menyatakan diri-Nya sebagai Raja Penyelamat yang dinubuatkan. Hal itu terbukti dari konteks kalimat di mana Yesus memakai gelar-Nya itu:

  • Ketika Yesus menunjukkan hak-Nya sebagai Mesias dan Raja untuk memberi keputusan di dunia ini (Mat. 9:6; 12:8, 32; 13:37; 16:13).

  • Ketika berbicara tentang kedudukan Yesus yang hina di dunia ini dan pengurbanan diri-Nya sebagai Mesias (Mat. 8:20; 11:19; 12:40; 17:9, 12, 22; 20:18; 20:28; 26:2, 24, 45).

  • Ketika berbicara tentang kedatangan-Nya kembali yang penuh kemuliaan dan perbuatan-Nya yang perkasa kelak sebagai Mesias (Mat. 10:23; 13:41; 16:27-28; 19:28; 24:27, 30, 37, 39, 44; 25:31; 26:64).

 

Kini, setelah kita lebih memahami makna Sang Manusia dan mengenal jati diri Tuhan kita Yesus, kita bertanggung jawab untuk merenungkannya dan hidup dengan cara yang pantas sebagai para penyembah-Nya.